maggggang, manggang, muakgang.....

wake up, senen shubuh, dah shalat, dah mandi, dah siap banget buat berangkat ke kantor baru. kantor pusat, gitu mereka selalu nyebut tempat itu.sebuah gedung multilantai yang terletak di Gatsu jakarta.
sementara itu, doni yang dah mandi dari subuh duduk di depan kamarnya (yang ditempatin bareng ma suro, demi penghematan) nungguin suro yang baru mandi. satu, dua, tiga batang rokok sudah berpindah dari mulutnya ke asbak disebelahnya. dia merasakan sensasi yang berbeda tiap kali berada di tempat baru, melukan hal-hal baru, bertemu dengan orang-orang baru. kombinasi antara endorphin, serotonin, dan hormon-hormaon lain diotaknya membuatnya exited.
pagi itu, jam 06.16 doni dan suro dah nangkring di depan kos-kosan, mengamati bemo dan mikrolet yang bersliweran. mereka berdiskusi, mau naek apa biar bisa sampe ke sudirman. naek kendaraan mirip kecoa yang namanya bemo, atau naek mikrolet yang ga tau bakalan nyampe mana. kalo bemo, jelas bakalan nyampe pasar di ujung jalan kerana kemaren mereka dah sempet liat kecoa itu berbaris rapi didepan pasar. akhirnya mereka memutuskan untuk naek kecoa, kerana: doni belum pernah naek kecoa sebelumnya, suro dah pernah tapi juga dah lupa rasanya karena dah 5 tahun yang lalu, aplikasi teori ekonomika makro tentang trickle down effect dan multiplier effect (untuk lebih jelasnya bisa baca sendiri di buku teks teori ekonomi makro manapun), penumpangnya lebih dikit, lebih private dan berbagai poin lain sebagai dasar pertimbangan pengambilan keputusan dalam diskusi tersebut. diskusi itu memakan waktu 2 menit 17 detik. dan 20 detik sejak diputuskan, terlihat seokor kecoa merayap dijalan itu. maka: suro segera mengangkat tangannya dan kecoa itupun berhenti, doni segera naik di belakang smentara suro duduk di depan, disamping pak sopir yang sedang bekerja, mengendali bemo yang beroda tiga, duk dik dak dik duk, eh suarana bukan begitu deh kayaknya..
tiga menit kemudian, kecoa itu sudah mulai bersua dengan anggota komunitas yang satu spesies dengannya, berderet-deret rapi di depan pasar. dan seperti yang selalu, tanpa aba-aba, ataupun peringatan lain, kecoa yang mereka naiki segera berbalik arah dan bergabung dengan dengan kawanannya di depan pasar itu. doni dan suro segera turun dan membayar ongkosnya ke pak sopir. 2000 rupiah per orang. dari depan pasar itu, mereka berdua, berjalan kearah jembatan penyebrangan yang merangkap jembatan ke halte bis transjakarta. dengan bersemangat dan mengikuti irama pejalan kaki yang laen, mereka berjalan melalui jembatan tersebut, melewati belokan yang turun ke halte bis transjakarta (ngga belok), terus sampai ke seberang jalan di depan kampus. sampai depan kampus, mereka berdua memperlambat tempo untuk mengatur nafas sambil belanja jendela (window shoping), yang dibeli bukan jendela, tapi pemandangan indah yang diciptakan Sang Raja dalam wujud mahasiswi nan jelita..
ga lama kemudian, mereka sampai di depan pelangi, tetap berjalan dengan tempo yang sudah kembali seirama pejalan kaki yang lain, terus berbelok kearah komdak. naik lagi ke jembatan penyebrangan, lalu lanjut ke gatsu kav.40-42. sampai situ baru jam 06.40. mereka berdua belum tau jam masuk kantor di disitu. karena secara default jam kantor mereka dimulai jam 07.00, maka mereka sudah siap untuk mulai bekerja pada jam itu. tapi, ternyata kantor itu masih sepi. baru ada satpam dan CS yang seliweran di halaman gedung. akhirnya, mereka berdua memutuskan untuk menuju ke jalan di sebelah kantor yang dulu dikenal sebagai spot penjual makanan, dari gorengan, nasi kuning, ketupat sayur,bubur ayam, mie ayam, gado-gado, soto dan kawan-kawannya. sampai tempat itu, mereka berdua bingung, dari sekian banyak pedagang makanan yang mereka kenang, sekarang hanya ada satu pedagang bubur ayam, satu pedagang gorengan, dan satu pedagang mie ayam. yang laen? entah, digusur kemana..
jadilah bubur ayamn sebagai satu-satunya pilihan yang fisibel untuk sarapan. suapan terakhir bubur tersebut ditelan doni bersamaan dengan bergeraknya jarum terpendek dijam tangannya ke angka 7. smentara suro menghabiskan rokoknya, doni kemudian membayar bubur tesebut. agak kaget juga dia mendengan harga yang disebutkan mamang penjual bubur itu, kerena angkanya lebih dari dua kali harga semangkok bubur ayam di Djogja..cape deh..
lanjuttttt...

Risalah Fajar

pagi ini, aku teringat perbincanganku dengan seorang kawan. Hanya bincang-bincang tak tentu arah pada awalnya. Dari bahasan politik, tentang parpol dan pemerintahan yang panjang lebar kami bicarakan, sampai soal pengelolaan lapangan batminton di delakang rumahnya. Kawanku itu alumni jurusan ilmu pemerintahan salah satu universitas negeri yang cukup terkenal di jawa. Dulu dia aktivis pergerakan di kampus, sebagai salah satu tokoh teras organisasi mahasiswa islam dilingkungan kampus. Sering turun kejalan dia.., menyuarakan aspirasi oyot suket atas amburadulnya penyelenggaraan negara.
Sama seperti aku, dia juga bukan berasal dari keluarga berada (hal ini mungkin bisa dengan mudah disimpulkan dari kegiatan dia sebagai seorang "demonstran", seperti yang telah aku bilang sebelumnya. Karena, mana ada kaum jetset atau anak pejabat yang jadi demonstran). Dari perbincangan politik yang penuh tipu muslihat, tiba-tiba perbincangan kami berbelok ke persoalan wanita. Menurut dia (dan aku menyetujuinya), menangani wanita tak jauh beda dengan berpolitik, sama-sama rumit. Jalan pikiran wanita buat kami sama rumitnya dengan jalan pikiran pimpinan partai. Bedanya, makin tua seorang wanita, makin sederhana pola pikirnya. Sedangkan makin tua pimpinan partai makin rumit pola pikirnya, makin sulit diprediksi reaksinya atas suatu kejadian politik. (bisa dibayangkan bagaimana rumitnya jalan pikiran seorang wanita muda yang pimpinan partai...hahahaha..)
Dan kami berdua terbukti sama-sama hijau dalam dunia politik ataupun wanita. Hal ini terbukti dari kondisi kami saat perbincangan ini terjadi. malam minggu, dan kami tak punya teman kencan alias jomblo.
Kemudian pembicaraan kami berlanjut ke pertanyaan tentang hal itu. Pertanyaan mengapa kami belum laku.., sebenarnya wanita seperti apa yang aku, dia cari. Wanita seperti apa yang mau dengan manusia-manusia seperti aku dan kawanku ini. Aku merenung sebentar dan kemudian berkata:"aku sebenarnya hanya mengharapkan seorang wanita sholihah...","yang cantik, pintar, kaya atau setidaknya orangtuanya kaya.." "najisssss!!!!!, yang gitu mah semua cowok juga mau.."teriak kawanku. kemudian kami berdua tertawa-tawa. ('ahh..., apa salahnya bermimpi?'), pikirku. "kriteria lo terlalu umum bro, gak kongkrit!"kata dia. "iya juga yah..., spec itu baru nunjukin kelasnya, belom sampai spesis apalagi jenisnya..." timpalku. "jadi gimana kongkritnya?" "ya harus bisa dipersonifikasi, misalnya paras dan tubuhnya mirip maria ozawa..., hahaha". "anjir!", tapi boleh juga tu, kira-kira kalo dia pake jilbab, trus berubah status dari plat kuning ke plat item.., mantap juga kayaknya...hehehe", selaku. 'tapi bro, tampang itu sebentar juga berubah. katakan umurnya 25, dia cantik fisiknya, misalnya nilainya 9 skala 10.. lha, 25 taun lg? dah kusut lah, kondisinya gak jauh beda ma yang nilai awalnya 5.. beda dengan sifat, bawaan orok itu, sekarang pemarah, sampe mati juga pemarah.. jadi kalo aku kayaknya lebih memilih berdasarkan sifatnya..."."oh, salah lo bro, justru karena tampang, kecantikan fisik itu cepat memudar..."timpalnya, "maka harus dimaksimalkan. cari kondisi inisial yang benar-benar mantap, jangan liat kondisi akhirnya.., toh kita juga gak pernah tau bakalan sampe kondisi itu atau nggak. syapa tau baru lima taun nikah trus cerai atau meninggal..kan rugi banget kalo kondisi awalnya ancur...hehehe, belom sempet dapet enaknya dah gim over..". "bener juga lo..."sahutku.
"oke lah, terlepas dari tampang, sebenarnya lo pengen punya bini yang gimana siy bro?" Tanya dia. "yang kaya Bunga Melati lah.."aku menyebut nama satu cewek teman satu angkatan aku dan dia, yang baru saja menikah."busyet, dah bini orang itu bro..., udah lah, lupain aja dia". "susah..., ato malah gak bisa.. secara gak sadar, tiap knalan ma cw aku selalu membandingkannya dengan dia. Bunga kayak jadi benchmark abadiku untuk menilai cewek..."kataku curhat..
"trus apanya yang lo bandingkan bro? parasnya? sifatnya? pintarnya? ato 'rasanya'?"."rasanya pala lo peang!, lha gua ajah belom pernah ngrasain bunga..."timpalku, dan dia tertawa terbahak-bahak..
ok, ok, yang ini serius, kerjaanku kan susah nih, yang jelas bikin aku nomaden, sebentar-sebentar pindah, AKAP lah, antar kota antar propinsi. nah aku banyak ngliat temen-temen yang hidupnya jauh dari istri. boyong kluarga pindah itu kan ga gampang sih..palagi kalo dah punya anak yang sekolah SD ato SMP.. bukan cuma itu sih alesannya, ada juga yg jauh dari istri karena istrinya kerja juga dan gak bisa ikut pindah....(atau gak mau ikut pindah ya?) macem-macemlah sebabnya.. tapi intinya itu tadi, mereka jadi bulok, bujang lokal, punya kluarga tapi gak hidup berkluarga.. ujung-ujungnya tau kan? cewek2 lokal bagi mereka terlihat begitu menggiurkan.. yah panggilan alam untuk buka cabang, distribusi pendapatan kata mereka.. lha gimana, uang ada, nah prinsip ekonomi kan mengatakan bahwa kalo bisa kluar modal sedikit untuk mendapatkan satu kepuasan, kenapa mesti keluar modal banyak?. semurah-murahnya tiket pesawat, kalo pas wiken jatohnya lumayan juga, diatas 300an lah..., PP kan jadi 600, belom buat pernak-perniknya.. jatohnya sejuta juga.. lha duit segitu kalo buat ngerental kan dah dapet yang top. itu buat yang milih beli sate daripada miara kambing. buat yang suka miara kambing, tambahin dikit uang itu dah bisa buat beli kambing plus ongkos pemeliharaannya.." "ini yang aku gak pengen.."lanjutku..
"gak melulu kesalahan mereka juga siy.. kayak kata bang napi, kejahatan itu bukan cuma karena ada keinginan, tapi juga karena ada kesempatan. nah buat para bulok, kesempatan itu mengaga lebar.. yang tadinya gak pengen, kalo liat temen-temen yang laen gitu, lama-lama kepikiran juga..dan alami sifat manusia itu suka mencoba.. udah gitu pembenarannya, agama juga gak ngelarang kok... "gak ngelarang gimana?"sahutnya.. "gak ngelarang buka cabang..."sahutku.
"lagian kan gini, kewajiban suami kan mencari dan memberi nafkah lahir-bathin. kewajiban istri adalah melayani suami dan menjaga kehormatan dan hartanya.. nah kalo mereka hidup terpisah?
suami sudah memenuhi kewajibannya mencari nafkah lahir.., tapi kewajiban memberi nafkah bathinnya gemana? lha lantas haknya untuk dilayani istri juga gak terpenuhi...kan udah bukan rumah tangga yang baik lagi yang begitu..."lanjutku. "jadi maksud lo, lo pengen punya bini yang bisa ngikut lo kemanapun lo pergi?, tanyanya.."yaaa, gitu deh...."sahutku..
cuma ngobrol gituan doang, gak kerasa sebungkus rokok tandas oleh kita berdua.. pembicaraan yang sudah cukup lama terjadi itu terasa seperti baru semalam yang lalu dikepalaku.. masih jelas teringat, bahwa setelah berbincang tentang itu, pembicaraan berbelok tentang konsep Allah dalam Islam, konsep tauhid sesuai Syahadat dan bedanya dengan konsep tuhan, god, dalam agama lain. tentang kenapa Allah tidak dapat diterjemahkan kedalam bahasa manapun seperti tuhan, god, dan lainn-lainya.. tentang adanya konsep jamak dan jender dalam tuhan (gods, goddess) dan lain-lain tentang itu.. aku jelas mengingat, pembicaraan itu berakhir saat adzan shubuh mulai terdengar bersahutan.. dan pagi ini, selesai shalat shubuh dan tadarus, aku teringat kejadian itu dengan begitu jelasnya.. teringat bahwa aku pernah berharap untuk mendapatkan rizqi dan amanah berupa seorang istri, dan aku tak ingin tinggal terpisah dengannya...

kata orang, harapan itu doa... dan semoga saja doaku itu dijabah olehNya