Pinar larasati

"...., maaf mbak, itu berkasnya ada yang terjatuh.." kataku melihat beberapa lembar kertas melayang jatuh dari map yang dia bawa..[jiahh, basa basi orang timur banget, ngasih tau pake minta maaf dulu.. giliran beneran salah, berat banget minta maaf nya..].
"ehh, iyah.. makasih ya mas" ucapnya sambil berjongkok memunguti kertas-kertas tersebut. aku hanya tersenyum melihatnya sambil sepintas membaca nama yang tertera di seragam yang dia kenakan.. Pinar Larasati..
nama yang unik pikirku, dengan makna yang mungkin dia sipemilik namanya saja tidak tahu. orang itu sudah lama berlalu dari hadapanku, namun sinapsip sinapsis otakku masih mengalirkan informasi tentang nama itu.
bercahaya, berkilauan keemasan itulah pinar, dan larasati tentu berasal dari dua kata laras dan ati atau hati. sederhananya nama itu bisa diterjemahkan sebagi hati yang selaras hingga berbinar berkilauan. indah bukan?
kilaunya itu hanyalah akibat. konsekwensi dari keselarasan hati.
masih saja berloncatan elektron-positron-neutron diantara lokus-lokus memori otakku.
terkenang obrolan dengan gus far tentang jambu alas yang tidak jelas kemana dan dari mana asal muasalnya, namun berakhir dengan bahasan tentang laras hati.
bagaimana kita musti menyelaraskan hati-lidah-otak sehingga tak menjadi pembohong, perumpi, atau ekstrimnya munafik. aku sendiri menginterpretasikan keselarasan tersebut sebagai 'rasa yang utuh' -jadi ingat wedaran Ki Ronggo Warsito tentang 'sari rasa tunggal' yang juga dapat ditulis dan bermakna 'sarira satunggal'-engkau satu dan menyatu;utuh.
bahwa didalam hidup kita itu harus berpegang pada sikap tawadu’, syukur, ikhlas, sabar dan amanah, kita semua tentu tahu. bahwa segala sikap tersebut bermula dari hati kita, saya sendiri kadang abai.
lihatlah dirimu, rasakan dan lihat hatimu, kenalilah dirimu. kau mungkin akan menemukan dirimu, diri orang lain, bahkan jagat semesta. begitu nasihat seorang bijak yang pernah saya dengar.
selaraskanlah hatimu, lidahmu, otakmu dan segala indramu maka ucapanmu, perbuatanmu akan indah dipandang, indah dirasa. akan dapat meresonansi hati dan rasa orang lain, memunculkan aura positif, membahagiakan.

pembelaan diri

Gayus gate benar-benar membuat DjP mati kutu. mereka benar-benar menjadi bulan-bulanan media massa. terlepas akan adanya muatan politik dari media tersebut, bahwa sebagian berita yang disampaikan adalah benar, tak dapat dipungkiri. hampir di semua forum dan jaringan sosial di dunia maya, orang mengutuki DJP. kaskus, twitter, facebook, detik forum, kompasiana dan lain-lainya menjadi media curhat dan sumpah serapah orang yang sudah muak dengan kinerja birokrat. dan karena DJP yang sedang berkasus, maka jadilah DJP obyek derita utama.
kalau ada yg menyerang, tentulah pula ada yang bertahan. demikian halnya dengan DJP. elitnya bertahan dengan meminta maaf kepada masyarakat dan berjanji memperbaiki kinerja. karyawannya bertahan dengan cerita bahwa tidak semua karyawan DJP seperti gayus, bahwa gayus hanya oknum, hanya sebagian kecil dari jumlah karyawan DJP. namun begitulah, apa yang mereka sampaikan hanya cerita. saat remunerasi karyawan DJP dipertanyakan, mereka membela diri dengan cerita bahwa remunerasi hanya sebagian dari paket reformasi birokrasi. bahwa konsekwensi dari remunerasi adalah absen ketat dengan mesin sidik jari yang tak kenal kompromi. harus hadir sebelum jam 07.30 dan baru bisa pulang jam 17.00. mereka tidak bercerita bahwa diantara jam tersebut mereka bisa pulang, bisa jalan-jalan, bisa ke pasar dan bisa melakukan hal-hal lain yang biasa dilakukan oleh PNS lainnya. mereka bercerita tentang kode etik yang melarang mereka menerima pemberian apapun dari klien-nya, namun tak pernah menceritakan adanya bos yang minta setoran ke anak buahnya. intinya pembelaan diri yang mereka lakukan bersifat normatif, berbentuk cerita yang indah untuk ditampilkan.
bagi saya, cerita-cerita tersebut tak bermakna apa-apa, tak membuktikan apapun. semua orang bisa bercerita demikian, bisa membuat cerita demikian, apalagi dalam keadaan terjepit. bahkan pencuri yang tertangkap tangan pun akan membela diri dengan ceritanya.
kalo memang mereka (DJP) itu sebaik yang mereka ceritakan, mestinya klien mereka yaitu para pembayar pajak (Wajib Pajak) sebagai pihak yang menikmati peningkatan kualitas layanan DJP akan membela mereka. Wajib Pajak tentu akan terbuka berprotes terhadap wacana penghapusan remunerasi, karena mereka yang terlibat langsung sebagai pihak penerima layanan akan menerima konsekwensi dari penghapusan remunerasi. kalau layanan yang didapat sekarang mereka anggap baik dan hal itu adalah akibat reformasi birokrasi di DJP, tentu mereka akan protes jika reformasi DJP dihentikan. nyatanya? saya belum mendengar satu wajib pajakpun yang berkomentar positif tentang kinerja DJP di media massa.
mau tau kualitas kinerja DJP? tanyalah mereka yang menerima layanan DJP.

permasalahan akut di DJP dan semua intsitusi pemerintah adalah budaya kerja. budaya kerja yang buruk. di DJP, reformasi birokrasi yang dilakukan sepertinya belum menyentuh bagian itu. reformasi itu baru sebatas, perubahan bentuk organisasi, penggunaan mesin absen dan remunerasi. reformasi mentalnya belum dilakukan. kalau melihat cetak biru reformasinya, mestinya saat ini adalah tahap reformasi mentalnya, peningkatan kapasitas dan integritas karyawannya. namun sepertinya reformasi yang ini agak sulit dilakukan karena yang harus diubah adalah budaya kerjanya.
budaya kerja adalah konvensi mental dan integritas suatu organisasi. bagaian terkecil penyusunnya adalah individu anggota organisasi. untuk memperbaiki budaya kerja, yang harus diperbaiki adalah individu tersebut. kebijakan zero growth karyawan DJP mungkin adalah salah satu penyebab sulitnya mengubah budaya kerja yang buruk di DJP. karyawan baru hanya disediakan untuk menggantikan karyawan lama yang meninggal atau pensiun. yang keluar (yang pensiun) tentu sudah punya kedudukan birokrasi yang relatif tinggi, cukup tinggi untuk meninggalkan jejak budaya kerja di unit kerjanya. yang masuk menggantikan adalah karyawan baru level terendah yang hanya bisa beradaptasi dengan dengan budaya kerja warisan birokrat yang pensiun. dia tidak punya cukup kuasa untuk mengubah budaya kerja tersebut. demikianlah,pergantian karyawan ini akhirnya tak memberikan perubahan apapun bagi budaya kerja organisasinya.
lain halnya bila karyawan baru yang masuk langsung menduduki posisi strategis di organisasi. dia tentu bisa membangun budaya kerja baru yang lebih baik.
buat saya, DJP itu mengurus rumah tangganya sendiri saja tidak becus, apalagi melayani masyarakat...