pembelaan diri

Gayus gate benar-benar membuat DjP mati kutu. mereka benar-benar menjadi bulan-bulanan media massa. terlepas akan adanya muatan politik dari media tersebut, bahwa sebagian berita yang disampaikan adalah benar, tak dapat dipungkiri. hampir di semua forum dan jaringan sosial di dunia maya, orang mengutuki DJP. kaskus, twitter, facebook, detik forum, kompasiana dan lain-lainya menjadi media curhat dan sumpah serapah orang yang sudah muak dengan kinerja birokrat. dan karena DJP yang sedang berkasus, maka jadilah DJP obyek derita utama.
kalau ada yg menyerang, tentulah pula ada yang bertahan. demikian halnya dengan DJP. elitnya bertahan dengan meminta maaf kepada masyarakat dan berjanji memperbaiki kinerja. karyawannya bertahan dengan cerita bahwa tidak semua karyawan DJP seperti gayus, bahwa gayus hanya oknum, hanya sebagian kecil dari jumlah karyawan DJP. namun begitulah, apa yang mereka sampaikan hanya cerita. saat remunerasi karyawan DJP dipertanyakan, mereka membela diri dengan cerita bahwa remunerasi hanya sebagian dari paket reformasi birokrasi. bahwa konsekwensi dari remunerasi adalah absen ketat dengan mesin sidik jari yang tak kenal kompromi. harus hadir sebelum jam 07.30 dan baru bisa pulang jam 17.00. mereka tidak bercerita bahwa diantara jam tersebut mereka bisa pulang, bisa jalan-jalan, bisa ke pasar dan bisa melakukan hal-hal lain yang biasa dilakukan oleh PNS lainnya. mereka bercerita tentang kode etik yang melarang mereka menerima pemberian apapun dari klien-nya, namun tak pernah menceritakan adanya bos yang minta setoran ke anak buahnya. intinya pembelaan diri yang mereka lakukan bersifat normatif, berbentuk cerita yang indah untuk ditampilkan.
bagi saya, cerita-cerita tersebut tak bermakna apa-apa, tak membuktikan apapun. semua orang bisa bercerita demikian, bisa membuat cerita demikian, apalagi dalam keadaan terjepit. bahkan pencuri yang tertangkap tangan pun akan membela diri dengan ceritanya.
kalo memang mereka (DJP) itu sebaik yang mereka ceritakan, mestinya klien mereka yaitu para pembayar pajak (Wajib Pajak) sebagai pihak yang menikmati peningkatan kualitas layanan DJP akan membela mereka. Wajib Pajak tentu akan terbuka berprotes terhadap wacana penghapusan remunerasi, karena mereka yang terlibat langsung sebagai pihak penerima layanan akan menerima konsekwensi dari penghapusan remunerasi. kalau layanan yang didapat sekarang mereka anggap baik dan hal itu adalah akibat reformasi birokrasi di DJP, tentu mereka akan protes jika reformasi DJP dihentikan. nyatanya? saya belum mendengar satu wajib pajakpun yang berkomentar positif tentang kinerja DJP di media massa.
mau tau kualitas kinerja DJP? tanyalah mereka yang menerima layanan DJP.

permasalahan akut di DJP dan semua intsitusi pemerintah adalah budaya kerja. budaya kerja yang buruk. di DJP, reformasi birokrasi yang dilakukan sepertinya belum menyentuh bagian itu. reformasi itu baru sebatas, perubahan bentuk organisasi, penggunaan mesin absen dan remunerasi. reformasi mentalnya belum dilakukan. kalau melihat cetak biru reformasinya, mestinya saat ini adalah tahap reformasi mentalnya, peningkatan kapasitas dan integritas karyawannya. namun sepertinya reformasi yang ini agak sulit dilakukan karena yang harus diubah adalah budaya kerjanya.
budaya kerja adalah konvensi mental dan integritas suatu organisasi. bagaian terkecil penyusunnya adalah individu anggota organisasi. untuk memperbaiki budaya kerja, yang harus diperbaiki adalah individu tersebut. kebijakan zero growth karyawan DJP mungkin adalah salah satu penyebab sulitnya mengubah budaya kerja yang buruk di DJP. karyawan baru hanya disediakan untuk menggantikan karyawan lama yang meninggal atau pensiun. yang keluar (yang pensiun) tentu sudah punya kedudukan birokrasi yang relatif tinggi, cukup tinggi untuk meninggalkan jejak budaya kerja di unit kerjanya. yang masuk menggantikan adalah karyawan baru level terendah yang hanya bisa beradaptasi dengan dengan budaya kerja warisan birokrat yang pensiun. dia tidak punya cukup kuasa untuk mengubah budaya kerja tersebut. demikianlah,pergantian karyawan ini akhirnya tak memberikan perubahan apapun bagi budaya kerja organisasinya.
lain halnya bila karyawan baru yang masuk langsung menduduki posisi strategis di organisasi. dia tentu bisa membangun budaya kerja baru yang lebih baik.
buat saya, DJP itu mengurus rumah tangganya sendiri saja tidak becus, apalagi melayani masyarakat...

0 comments: