Meminta kepada Yang Maha Pemberi

Doa, lembaga religi manapun yang dianut, pada umumnya berisi pujian, ekspresi syukur, dan permintaan, yang dihaluskan bahasanya menjadi permohonan. Sementara kita tahu bahwa Sang Maha tentu juga Maha Pemberi, dan jika manusia dermawan yang tentu saja tidak akan pernah disebut Maha Pemberi akan memberi apa yang diminta selama dia mampu, maka Dia tentu akan memberi tanpa diminta (supaya konsisten dengan sebutan Maha). Tetapi yang terjadi adalah bahwa dalam setiap doa kita, kita memohon segala hal kepadaNya. Permohonan (permintaan) kita itu tentu saja otomatis menegasikan pernyataan bahwa Dia bersifat Maha Pemberi. Kita yang memberi nama, menyatakan, namun kita juga yang membantah dan tidak mempercayai pernyataan kita sendiri.
Bukankah kemudian, demi menjaga konsistensi pernyataan kita atas segala keMahaanNya, doa kita seharusnya hanya berisi ungkapan rasa syukur dengan segala aktualisasinya? Dan segala keinginan kita tidak perlu dimintakan kepadaNya karena Dia juga Maha Tahu sehingga tentu saja tahu segala keinginan setiap kita.
Mungkin perspektif kita terhadap keinginan yang tidak tercapai yang perlu diubah. Atas segala kondisi dimana apa yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, biasanya kita segera berkesimpulan bahwa Dia tidak mengabulkan harapan (doa) kita. Benarkah? Doa kita yang mana yang tidak dikabulkannya? Dan kemudian kita meragukan KeadilanNya…
Setiap harapan/keinginan kita tentu berkaitan dengan keinginan/harapan orang lain. Jika harapan itu sejalan/searah, menjadi sinergi, jika berbeda apalagi bertolak belakang, tentu menjadi saling meniadakan. Harapan yang sama belum tentu searah. Misalnya harapan menjadi kaya, hampir setiap orang tentu berharap demikian. Dan harapan ini justru berlawanan arah. Orang baru akan disebut kaya bila ada orang lain yang disebut miskin. Jadi dalam harapan menjadi kaya (bagi diri kita) tersirat juga harapan supaya orang lain miskin. Setiap orang berbuat itu, mengharap dirinya kaya atau dalam kata lain yang bermakna sebanding (dalam logika) adalah mengharap orang lain miskin. Bukankah kemudian harapan kita itu menjadi saling meniadakan? Jadi untuk apa kita berharap?
Keberhasilan (kekayaan, ataupun dalam hal yang lain) adalah fungsi dari tak berhingga macam faktor yang sebagian sangat besar tidak dapat kita kontrol. Segala faktor yang mempengaruhi (interdependen) berbeda bagi tiap orang. Rasionalitas manusia menyatakan bahwa dunia adalah tempat berlakunya hubungan kausalitas, dan demi rasio kita, maka kita harus yakin bahwa apa yang kita usahakan adalah apa yang akan kita dapat. Setiap orang ingin menjadi kaya, tetapi tentu saja berbeda usaha yang dilakukan untuk mencapainya, berbeda pula fungsi faktor-faktor penentunya.
Bukti dari ketakhinggaan faktor yang tidak dapat kita kendalikan itu sangat jelas bila kasus yang ditinjau adalah cinta. Dalam cinta, hukum kausalitas hampir sama sekali tidak berlaku. Kadang bisa muncul dengan sendirinya tanpa sebab yang jelas, kadang pudar tanpa kita sadari. Cinta disini bukan sekedar rasa saling membutuhkan, sehingga saling memberi, yang saat salah satu berhenti memberi yang lain juga menghentikan pemberiannya, tetapi lebih ke kombinasi berbagai rasa yang muaranya adalah rasa saling mengerti, mengikhlaskan atau bahkan lebih luas.
Harapan hanyalah sebentuk motifasi yang menggerakkan segala sumber daya yang ada pada diri kita, yang dapat kita control, untuk berusaha. Makin banyak sumber daya yang dapat kita kendalikan makin besar peluang kita untuk berhasil.


--Kemudian mereka menganggap aku sombong karena tidak pernah lagi memohon kepadaNya. Sesungguhnya aku hanya berusaha konsisten dengan logika yang telah Ia anugrahkan kepadaku. Percaya bahwa Ia Maha Segalanya, Maha Pemberi sehingga aku tidak perlu meminta…

Sungguh aku mencintainya, berharap memilikinya, namun sadar, bersamaku belum tentu ia sebahagia kini. Dan sebenarnya aku telah memilih untuk melewatkan kesempatan mendapatkan cintanya saat aku memutuskan untuk tidak memasuki kehidupannya karena takut menyakitinya, karena sangat mencintainya. (atau karena tidak berani mencintainya, tidak berani menyakitinya, hingga tak layak aku dicintai…)
Dia tahu, bahagiamu adalah harapanku, senyummu adalah oase padang hatiku.

1 comments:

  Anonymous

14 April 2008 at 10:36

waah,,,rajin nulisjuga dok...pake hati nulisnya yah,,guud